Bianglala, Pangeran Cilik, dan Purnama

D. Atika Pramono
2 min readApr 20, 2019

“It is only with the heart that one can see rightly, what is essential is invisible to the eyes.” — Le Petit Prince

“Bagaimana dengan purnama di atas bukit?”

“Kau belum terbiasa naik. Lebih asyik menikmati pasar malam di pagi hari.”

“Hanya untuk ini kau memanggilku?”

“Kau menyukai pasar malam. Tapi, kita berdua benci gaduh. Maka, pagi adalah solusi.”

“Aku tidak terlalu suka. Dulu, hanya kebetulan saja, menemani kawan jauhku berkunjung.”

“Kebetulan yang waras.”

“Aku sudah menamatkan Pangeran Cilik. Kemarin dan hari ini.”

“Dua kali?”

“Aku berencana membacanya lagi, besok.”

“Kau tidak punya banyak kesibukan?”

“Tentu. Kepalaku sedang riuh. Istirahat dari gaduh dengan membaca buku adalah cara paling ampuh.”

“Untung saja Pangeran Cilik tidak meminta sang pilot untuk menggambar bianglala,” lanjutku.

“Kenapa?”

“Ia akan pusing memikirkan berapa banyak tempat yang harus digambar.”

“Begitulah. Orang-orang dewasa lebih menyukai angka. Masalah-masalah mereka tidak pernah jauh dari soal penjumlahan.”

“Apa kau mau menggambar bianglala itu untukku?”

“Aku akan menggambar tiga pohon baobab saja.”

“Kau memang seorang dewasa.”

“Kenapa?”

“Kau menyebut tiga pohon baobab.”

“Haha. Aku sudah mulai tua.”

“Jadi?”

“Aku tidak pandai menggambar bianglala. Tapi, dulu aku pernah menggambar pohon baobab untuk tugas sekolahku.”

“Lupakan. Lebih baik aku memotretnya saja.”

“Itu lebih melegakan.”

“Kenapa Pangeran Cilik ingin gambar domba? Bukankah ia ingin mencari jalan keluar dari masalahnya dengan sekuntum mawar berduri empat?”

“Lantas?”

“Jelaskan padaku!”

“It is only with the heart that one can see rightly, what is essential is invisible to the eyes.”

“Kau pandai sekali mengutip.”

“Dan, kau memang harus membaca Pangeran Cilik, sekali lagi.”

“Orang dewasa memang butuh penjelasan berkali-kali.”

“Aku tahu gunung mana yang mudah sekali ditaklukkan.”

“Jangan bilang tiga gunung di planet Pangeran Cilik!”

“Haha. Kau mulai menjadi dewasa.”

“Dan, sedikit menyebalkan.”

“Kau ingin pindah ke B 612 demi gunung itu?”

“Tidak. Aku lebih suka di sini bersamamu. Menghabiskan sisa senja di matamu.”

“Gombal.”

“Haha. Tapi kau suka.”

“Aku juga lebih suka di sini bersamamu. Menikmati pelangi yang menggantung di matamu.”

“Tidak ada matahari saat hujan.”

“Aku mawarmu satu-satunya, bukan?”

“Meski ada 10.000 ribu mawar di kebun bunga, kau tetap satu-satunya.”

“Sungguh, kau seorang dewasa.”

“Pangeran Cilik juga.”

“Kau yakin?”

“Ia mulai merindukan bunga mawarnya. Ia merasa khawatir sebab mawar itu jauh dari pandangannya.”

“Mungkin kau benar.”

“Aku harus pulang. Menyelesaikan bacaanku yang tertinggal.”

“Aku juga harus pulang, ke dalam kata-kata. Agar kau leluasa memelukku kapan saja.”

“Terima kasih.”

“Kembali kasih, Sayangku. Mari pulang!”

“Lihat, Pangeran Cilik sedang menggeser tempat duduknya.”

“Ia hendak menikmati matahari tenggelam.”

“Kita nanti saja, menikmati purnama di atas bukit Sirnarasa, bersama gigil.”

“Janji?”

“Bukan. Hanya cita-cita. Semoga terlaksana.”

Percakapan kami di atas sebuah batu besar di tengah sawah, tepat di seberang jalan potret ini diambil, berakhir dengan cita-cita.

--

--

No responses yet