Dari Meja Teller BMT ke Ruang Kelas: Fase Ta’aruf
“Guru ialah seseorang yang menyimpan nama-nama muridnya di dalam hati, memikirkannya lebih banyak dari siapapun, dan mendoakannya lebih sering dalam setiap sujud-sujud panjangnya.”
Frasa yang terus melekat di benak saya setiap merayakan momen hari guru adalah Semua Murid Semua Guru. Frasa tersebut sejatinya berasal dari judul buku Mbak Najelaa Shihab. Buku yang saya tamatkan dua kali karena saya membutuhkan pengetahuan seputar dunia pendidikan.
Sekitar 5 tahun yang lalu, saat saya memutuskan untuk terjun ke dunia pendidikan, buku tersebut merupakan buku bergenre pendidikan pertama yang saya punya. Disusul dengan Teaching Like Finland yang menjadi buku kedua. Kedua buku ini mengubah perspektif saya tentang pendidikan, mulai dari sudut pandang hingga implementasinya. Semoga lain waktu saya bisa menuliskannya untuk berbagi pesan baik yang terkandung di dalam kedua buku tersebut.
Momen perayaan Hari Guru tahun ini sedikit dramatis. Siswa-siswi kami sengaja menyusun sebuah skenario untuk membuat hati kami (baca: para kakak guru) cemas dan khawatir hingga memanggil beberapa dari mereka untuk dimintai keterangan terkait laporan pelanggaran tata tertib sekolah. Sedikit informasi, di sekolah kami, guru-gurunya dipanggil dengan sebutan “Kakak Guru”. Unik, bukan?
Dugaan mereka benar. Kami masuk perangkap. Salah satu kakak guru memanggil empat siswa yang diduga sebagai pelaku pelanggaran dan mengajak mereka untuk membicarakan hal tersebut. Namun, drama tersebut tidak berlangsung lama karena acting mereka yang kurang meyakinkan.
Di tengah proses belajar, seorang siswi memanggil saya yang saat itu sedang mengajar di kelas XI. Alasan pemanggilan tersebut yaitu bahwa kakak guru yang sedang menginterogasi para pelaku memanggil saya untuk turut menyelesaikan masalah ini.
Sesaat setelah saya masuk ruangan, mereka langsung menghampiri saya, kemudian memberi sekuntum mawar perpaduan warna ungu dan merah muda. Warna kesukaan saya. Sungguh cantik penampakan bunga mawar itu. Sayangnya, saya terlalu buncah hingga lupa mengabadikannya.
Mimik wajah yang semula tegang berubah menjadi bingung. Sejurus kemudian saya berhasil mencerna keadaan, dan pecahlah tawa kami. Sejatinya, kejutan demi kejutan terus terjadi sejak saya bersama mereka setahun yang lalu.
Ingatan saya melesat jauh ke tahun 2018, menelusuri jejak memori 5 tahun lalu. Keputusan besar yang membawa saya terus menekuni hobi ini hingga sekarang. Saya teringat kata-kata emak pada suatu sore. “Dulu, cita-cita ibu ingin jadi guru. Tapi keadaan mbah kakung dan mbah putrimu yang membuat ibu ngga tega melanjutkan sekolah. Kenapa kamu ngga ambil jurusan pendidikan saja?” Sebuah pengakuan yang terlambat dikatakan.
Lantas, bagaimana awal mula seorang lulusan Hukum Bisnis Syariah yang telah bekerja di sebuah BMT, malah memilih resign dan akhirnya mendaftarkan dirinya di sebuah SD swasta yang baru saja beberapa tahun berdiri? Let me tell you a story!
Menjelang akhir tahun 2017, saya lulus kuliah dan mulai mencari kerja. Menjalani hidup sebagai job seeker yang ternyata tidak mudah. Saya pernah mendaftar di sebuah pabrik sebagai staf kantor, namun ditolak. Tidak pantang menyerah, saya kembali melamar sebagai wartawan di salah satu media lokal, namun ditolak pula. Pada akhirnya, saya menjadi seorang penggangguran hampir setahun. Baru percobaan kedua, it’s okay. Bukankah J.K. Rowling ditolak 12 penerbit, sebelum karya fenomenalnya mendunia?
Enam bulan sebelum tahun 2018 berganti, saya melakukan tes masuk kerja di dua tempat berbeda. Lamaran pertama di sebuah pabrik dengan jabatan staf admin keuangan dan satu lagi di Baitul Maal wa Tamwil atau biasa disebut BMT. Kedua lowongan tersebut berasal dari teman ibu yang merasa kasihan karena anaknya tidak kunjung mendapatkan pekerjaan.
Singkat cerita, saya memutuskan untuk memilih bekerja di BMT. Sebenarnya, saya juga diterima menjadi staf admin keuangan. Namun, setelah mempertimbangkan berbagai hal, saya menjatuhkan hati di BMT dengan salah satu alasan, bahwa jurusan kuliah saya masih revelan dengan pekerjaan yang akan saya jalani. Apakah menjadi seorang idealis selamanya menguntungkan?
Tiga bulan bekerja di sana, saya belum menemukan feel menjadi seorang teller. Saat itu, status kerja saya masih dalam masa percobaan. Sebenarnya, saya sangat menghindari pekerjaan yang berkaitan dengan angka, eh malah dijadikan seorang teller, hwuuaaa. Belum ada kenyamanan yang saya rasakan di tempat ini. Tidak hanya bersedih hati tiap sepulang kerja, saya juga sering menangis ketika salat dan berdoa.
Kenapa ngga langsung resign aja? Kan beres tuh masalahnya. Sebagai seorang anak sulung yang mendapatkan kesempatan kuliah dengan beasiswa pemerintah dan orang tua yang broken home, tidaklah mudah untuk mengambil keputusan secara sepihak. Setidaknya, saya harus mendapatkan pekerjaan pengganti sebelum memutuskan untuk resign. Saya sering membicarakan masalah ini dengan adik laki-laki satu-satunya, yang dalam beberapa hal, pemikirannya lebih dewasa daripada saya. Lah terus, kenapa malah milih pekerjaan yang gajinya lebih sedikit?
Sesungguhnya, Allahnya pemilik langit dan bumi. Sang Pemberi Rezeki yang tiada pernah tertukar dan salah timbangan. Lantas, mengapakah kamu masih ketakutan menjadi miskin, sedangkan Allah ialah Sang Maha Kaya?
Jangan pernah meragukan kekuatan doa! Allah menjawabnya secara langsung. Entah berasal dari mana, saya mendapat informasi terkait rekruitmen guru baru di salah satu SD swasta. Beberapa hari kemudian, saya melakukan serangkaian tes, mulai dari tes tulis, psikotes, tes baca dan tulis Al-Qur’an, microteaching, hingga wawancara. So, how are the results?
Tulisan ini adalah sebuah refleksi tentang perjalanan panjang menjadi seorang guru. Sekaligus sebagai pengingat bahwa sudah sejauh ini langkah kaki membawa saya untuk terus belajar menjadi seorang guru yang dicintai para muridnya. Saya berencana membagi tulisan ini menjadi 3 bagian, yaitu: Fase Ta’aruf, Fase Menikah, dan Fase A Lifelong Learner. Semoga Allah memampukan saya untuk berbagi pengalaman hidup ini.
Semoga ada hal baik yang dibawa pulang selepas mampir membaca. Selamat Hari Guru Nasional 2024!