Pangeran Cilik dan Lelucon Para Koruptor: Sebuah Memoar
“Tiga yang pasti, yakinlah, bahwa rinduku tetap utuh!”
Negeriku sedang gaduh. Satu dan Dua masih sibuk berseteru. Oleh sebab itu, kuputuskan memulai hitungan dari angka tiga. Bagaimana kabar bunga mawar di planetmu, Pangeran Cilik? Masihkah malu-malu seperti Satu dan Dua di negeriku?
Aku teringat saat kau melakukan kunjungan ke Planet Sang Raja. Sejenak aku berpikir barangkali ia bisa memberi sepatah dua kata untuk menasihati negeri ini. Ah, tapi mana mungkin, bukankah Sang Raja tak memiliki rakyat sama sekali? Bagaimana ia pernah mendengar suara rakyat yang menderita?
Andai ada satu saja, aku yakin bahwa hal pertama yang akan dikeluhkan rakyat tersebut adalah perihal baju kebesaran yang menutupi seluruh planet, hingga tak ada cukup ruang untuk tidur. Lihatlah, betapa tidak terlatihnya Sang Raja menjadi seorang raja! Begitulah sebagian potret pemimpin di negeri ini. Kadang mereka merasa memahami seluruhnya, tanpa bersedia mendengar dari segala penjuru arah.
Pangeran Cilik, negeriku sedang sakit. Keadilan dan Kejujuran adalah koleksi langka di sini. Maka, jika boleh meminta, bisakah engkau menanam benih adil dan jujur di planetmu? Bila di sana mereka tumbuh lebih subur, aku harap kau sudi memberi sedikit tanah untukku. Aku bisa memohon kepada seorang politikus yang ilmuwan. Katanya, ia paling pandai melakukan penelitian. Barangkali ia bisa menemukan penyebab, mengapa benih adil dan jujur sulit tumbuh di negeri kami?
Pangeran Cilik, ramadan tahun ini berisik sekali. Apa sebab corong-corong kekuasaan sedang bertugas? Pesta Demokrasi sedang berlangsung, pastilah riuh. Jadi, bolehkah untuk sementara waktu, aku pindah ke planetmu?
Aku ingin menggeser kursi, duduk di sebelahmu, menikmati matahari tenggelam, empat puluh satu kali dalam sehari. Aku ingin mendapatkan kembali sepiku, bersamamu. Tiap pagi membersihkan gunung berapi, menyapa bunga mawarmu yang angkuh, dan suatu waktu menyaksikan gunungmu meletus. Aku bahagia, sebab ketika gunungmu meletus, kita tak perlu bersusah payah mendirikan tenda. Apa planetmu masih mampu menampung penghuni baru?
Pangeran Cilik, batinku begitu bosan dengan keramaian. Klakson-klakson bersahutan, kian memuakkan. Kata-kata diobral, moral terabaikan, perut-perut membuncit kekenyangan, sebab terlalu banyak menelan barang haram. Kau tahu, Lelucon Para Koruptor di negeriku lebih lucu dari Guyonan Para Pelawak.
Tunggu, aku hampir lupa bahwa di planetmu tidak ada kata "koruptor". Maaf, sudah membuatmu kesulitan. Maka jangan bertanya, sebab aku tak sudi menjawabnya! Jika kau ingin tahu, berkunjunglah! Aku akan membawamu berkeliling, dan kau pasti akan paham sendiri tanpa aku menjelaskan, apa itu korupsi. Jika kau tak ada waktu, sebab enggan meninggalkan mawarmu, aku bisa mengirimkan buku kumpulan cerpen Agus Noor yang baru saja aku rampungkan. Kirimkan alamatmu!
Pangeran Cilik, apa kabar?
Sekali lagi, negeriku sedang gaduh. Satu dan Dua masih berseteru. Riuh. Tiga yang pasti, yakinlah, bahwa rinduku tetap utuh!
Majapahit, 16–17 Ramadan 1440 H