Member-only story
Penyembuhan Diri: Belajar dari Pengalaman Matt Haig
“Tuhan, jika keberadaan saya terus dinilai sebagai beban bagi mereka, tidak mampu menghadirkan kebahagiaan dan belum bisa membuat mereka senang, matikanlah hamba! Tapi, Tuhan, hamba takut api neraka. Sebab amal-amal hamba tiada pernah cukup untuk bekal menghadapmu. Dunia ini sungguh menakutkan, Tuhan.”
Satu bulan lalu, hari-hari saya terasa kelabu dan tidak bergairah melanjutkan hidup. Berawal dari sebuah perkataan yang begitu membekas dalam hati dan pikiran, hingga berimbas pada perilaku saya dan mempengaruhi keseharian. “Baru juga begini, kamu sudah sambat lelah, padahal belum bisa membahagiakan ibumu, belum bisa membuatnya senang. Kerja hanya begitu saja sudah bilang capek.”
Hati saya seperti ditusuk. Saking sakitnya, saya ingin menangis. Dada saya seperti dihantam sebongkah batu besar dan seketika darah mengucur deras. Saya langsung menutup laptop, mengemas meja lipat dan masuk ke dalam kamar, meninggalkan si pelaku penghantaman. Saya ingat betul bagaimana si pelaku dengan entengnya berbicara sambil menyantap nasi jagung. Peristiwa itu terjadi pada hari libur yang seharusnya menjadi waktu paling nyaman untuk mengistirahatkan diri. Mengapa saya begitu terganggu dengan perkataan itu hingga hari ini? Sebab batu besar itu dihantamkan oleh orang yang begitu saya cintai, kemudian dibenarkan oleh orang yang melahirkan saya ke dunia…