Pernikahan: Refleksi Atas Sebuah Keputusan
Hi, ini Atika. Kalian apa kabar? Jangan lupa jalan-jalan santai dan menikmati matahari pagi!
Tulisan kali ini agak berat, tapi nggak sampai menumpuk sebelas sapi di atas bak truk terbuka kok. Hihi.
Ini bukan “A Note After Reading” seperti dua tulisan sebelumnya. Saya sedang menjadi pembaca yang payah satu bulan ini. Tidak ada satu pun buku yang terlahap habis. Hiks.
Kabar baiknya, saya sudah berhasil melewati masa-masa Isolasi Mandiri dan mulai beraktivitas kembali. Terima kasih untuk doa dan semangat kalian. I Love You.
“Usia saya dua puluh enam tahun. Belum menikah. Ada yang salah? Haha.”
“Nikah itu jangan terlalu tua, nggak enak! Kenapa nggak nikah-nikah sih, nunggu apa, keburu jadi perawan tua? Sekolah tinggi-tinggi buat apa, nanti nggak ada yang mau lho, soalnya takut, kamunya lebih pinter dari lakimu! Terlalu milih-milih sih, makanya nggak laku-laku!”
Biasanya, perempuanlah yang sering mendapat berondongan pertanyaan semacam itu. Wahai para puan, bagaimana menurutmu?
“Menikah itu berbagi kebahagiaan, bukan malah mencari dan menuntutnya dari pasangan.”
Satu kalimat dengan ribuan makna. Kalimat tersebut begitu membekas di hati hingga saat ini. Saya lupa kapan pernah mendengarnya dan dari mana nasihat itu saya peroleh.
Kita harus selesai dengan diri sendiri dan masa lalu ketika berkata siap membuka dan menerima yang baru. Saat kita mampu mencintai diri sendiri dengan sepenuh hati, berbahagia versi kita, dan tidak lagi terperangkap dengan keegoisan diri. Dari sinilah kita mampu dan siap berbagi kebahagiaan. Dan tidak lagi menuntut dari pasangan.
“Aku juga pengen kayak yang lain, hidupnya enak. Nikah langsung kaya, punya rumah, pekerjaan mapan, duitnya banyak. Aku nikah ya karena dia anaknya orang kaya, punya mobil, sawahnya banyak, udah punya rumah, gaji gede, eh ternyata dia nggak bisa bahagiain aku. Keluarganya ikut campur mulu, aku udahan aja deh. Dulu kukira dia pinter masak, nggak tahunya cantik doang. Pas dulu awal kenal, dia baik banget, apa-apa selalu ada buat aku, lha pas udah nikah, ternyata orangnya pemalas. Kalo diajak kondangan emang oke sih, gantengnya bisa diadu. Modal tampang doang, nyatanya males banget cari nafkah buat keluarga.”
“Menikah itu ibadah sepanjang hayat. Karena niatnya ibadah, pasti ada pasang-surutnya, banyak godaan dan ujiannya, tidak sedikit melewati terjangan badai, dan jalannya kadang mulus tetapi seringkali terjal serta berliku.”
Sebab pernikahan tidak hanya untuk satu atau dua hari, sehingga harus direncanakan dengan baik. Tidak hanya materi namun juga kesiapan lahir dan batin serta kematangan emosional. Saya percaya bahwa mereka yang memutuskan untuk menikah adalah pribadi-pribadi tangguh dengan persiapan matang. Perihal bagaimana mereka menghadapi masalah, biarlah diselesaikan dengan jalan paling damai.
“Tidak ada masalah tanpa jalan keluar. Selama kita memiliki niat baik untuk menyelesaikannya, percayalah bahwa Tuhan akan selalu memberikan jalan.”
Pernikahan tidak hanya tentang penyatuan dua orang, namun dua keluarga besar dan barangkali dua budaya. Tidak lepas dari masalah-masalah yang menguras pikiran, hati dan tenaga. Tiap keputusan yang diambil memiliki konsekuensi.
Memilih dan memutuskan menikah berarti siap menerima tanggungjawab lebih besar, bersedia menerima perbedaan watak dan karakter dari masing-masing, serta mampu beradaptasi di dalam keluarga dan lingkungan yang baru.
Saling percaya, saling menghormati dan menyayangi, saling mengayomi, saling membantu, saling menasihati, saling mencintai, saling memberikan rasa aman dan damai, saling mengingatkan, saling membagi kecemasan dan kegelisahan, serta saling menyemangati.
“Sesungguhnya prinsip menikah adalah Prinsip Kesalingan.”
Saya menemukan pandangan ini dalam buku “Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam”.
Tidak ada salahnya membuat rencana jangka pendek, menengah dan panjang setelah menikah. Saling berbagi mimpi, menyelaraskan langkah dan berserah diri pada Tuhan. Segala hal jika dikomunikasikan dengan hati damai dan pikiran jernih pasti akan menemui jalannya.
“Tidak ada yang tidak mungkin selama kita bersedia berjuang dan tidak berhenti di tengah jalan.”
Jika lelah, ambillah jeda! Jika sedih, hiburlah diri! Jika kalah, jangan malah menyerah!
Jadi, siap untuk berbagi mimpi dan menyelaraskan langkah bersama?