Pram dan Kita: Sebuah Catatan Fase PDKT Anak-Anak Generasi Y dan Z

D. Atika Pramono
4 min readMar 15, 2022

--

Dokumentasi Acara PRAM & KITA, 20 Februari 2022

“Kalian kenal Pramoedya Ananta Toer?” Pertanyaan ini saya ajukan kepada tiga kawan dari kalangan berbeda. Pertama, saya bertanya kepada seorang kawan kuliah magister, sewaktu kami menunggu dosen untuk bimbingan. Kedua, pertanyaan ini saya berikan kepada kawan-kawan guru. Ketiga, saya memancing anak-anak didik saat memberikan penjelasan tentang salah satu bab dalam mata pelajaran PPKn. Topik pembahasan kami adalah “Ancaman terhadap Negara dan Strategi Mengatasinya”.

Salah satu siswa bertanya tentang nasib keluarga anggota PKI, saat saya menyinggung bagaimana dulu pemerintah memperlakukan para pelaku G30SPKI. Kami berdiskusi tentang paham komunisme secara teori dan bagaimana pemerintah memandang serta menyikapi hal-hal berbau komunis dalam rentang waktu Orde Baru. Pembahasan kami terhenti di tengah jalan karena tidak mungkin saya memberikan banyak penjelasan yang berlawanan sudut pandang dengan muatan materi yang diberikan oleh negara. Tidak, bukan tidak mungkin. Sebenarnya, saya merasa takut, atau lebih tepatnya tidak memiliki keberanian untuk berbicara lebih banyak.

Saya teringat pada salah satu ucapan Pram yang menjadi narasi kunci pada acara ini. Begini bunyinya, “Kalau angkatan muda tak punya keberanian, maka mereka sama dengan ternak. Karena fungsinya hanya mempeternakkan diri. Inilah jalan pendidikan individu dan pembangunan karakter. Kalau kalian tak mau melakukan itu, ya silakan jalan terus.” Seperti berdiri di sebuah persimpangan, kadang saya berlari ke arah kiri dengan seluruh pemikiran yang berkecamuk tentang negara, namun tidak bisa menolak untuk berjalan ke arah kanan, mengikuti aturan hidup yang dibuat oleh masyarakat. “Lantas, jawaban apa yang saya terima terkait pertanyaan di atas?

Kawan kuliah dan kawan guru kompak menjawab tidak kenal. Anak-anak didik saya, hanya satu yang menjawab tidak tahu, lainnya diam seribu bahasa. Saya sampaikan kepada anak-anak didik seperti ini, “Jika kalian ingin mengetahui lebih banyak tentang paham komunisme, silakan baca karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Novel-novel Pram pernah dilarang beredar karena dianggap pemerintah menyebarkan paham komunisme berkedok sastra.” Saya tutup penjelasan tentang paham komunisme dengan tanda tanya besar yang bersarang di kepala mereka.

Generasi Y dan Z sudah asing dengan sosok Pram. Begitulah kiranya hasil pengamatan yang saya lakukan. Konten di media sosial, seperti TikTok, Instagram, Twitter, dan Facebook sudah jarang yang membahas tentang sosok yang beberapa kali masuk dalam nominasi peraih Nobel Sastra ini. Bahkan dalam penelusuran Google, kegiatan atau acara yang menyangkut tentang Pram hanya berhenti pada tahun 2019. Lainnya, kata-kata bijak Pram yang dirangkum oleh berbagai portal berita daring. Barangkali, nama Pramoedya Ananta Toer hanya terkenal sesaat di kalangan Generasi Y dan Z pada saat Iqbal Ramadhan didapuk menjadi Minke dalam film Bumi Manusia garapan Hanung Bramantyo.

Pemuda saat ini lebih disibukkan dengan bagaimana cara memperkaya diri dan fokus menyimak panduan seni hidup bahagia dari berbagai macam buku self-help terjemahan. Generasi muda sekarang banyak yang tidak mampu melihat berbagai permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Mereka lebih fokus pada kepentingan pribadi, sehingga alpa pada kondisi sekitar. Fenomena ini membentuk generasi penerus bangsa yang individualistik dan buta pada isu-isu sosial.

Pram telah berhasil membaca kondisi pada zaman ini, terutama bagaimana tingkah laku para pemudanya. Jika dihitung jarak waktunya, ia bahkan hidup pada masa sebelum munculnya istilah Generasi Y dan Generasi Z; pembagian generasi menurut tahun lahirnya. Jaraknya terbentang puluhan tahun dengan kehidupan kawula muda modern.

Melalui tulisan-tulisannya yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, ia mempertentangkan eksistensi sebagai manusia merdeka dengan segala permasalahan bangsanya. Sudah sepantasnya, generasi muda tidak hanya fokus pada kemakmuran hidup pribadi, namun juga berdampak, setidaknya pada perubahan sosial yang terjadi di lingkungannya.

Gagal merampungkan Bumi Manusia dan lebih memilih menonton filmnya, ternyata tidak membuat saya merasa puas. Ya, saya masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa saya telah mengenal sosoknya. Menerima tantangan membaca karya Pram adalah salah satu jalan yang bisa saya tempuh untuk mengakrabi pemikiran-pemikirannya.

Membaca Jejak Langkah, secara tidak langsung membawa saya berkenalan dengan perempuan Jepara yang tidak disebutkan namanya oleh Pram. Berdasarkan narasi dan dialog yang dibangun oleh Pram, dugaan saya ternyata tidak meleset. Pram sedang menggambarkan sosok perempuan pemikir sosial yang hari lahirnya selalu diperingati oleh seluruh rakyat Indonesia setiap tanggal 21 April.

Dalam Seni Menulis Opini, Mbak Okky Madasari menyebut Pram dalam dua tulisan berbeda. Pertama, dalam tulisan berjudul “Memaafkan Negara”, Mbak Okky menyoroti perilaku Gus Dur yang menemui langsung Pramoedya Ananta Toer untuk meminta maaf. Gus Dur adalah satu-satunya Presiden Indonesia yang pernah meminta maaf atas kesalahan masa lalu yang telah diperbuat oleh negara. Kedua, dalam “Teori Kartini untuk Silicon Valley”, Mbak Okky Madasari menyebutkan bahwa Pramoedya Ananta Toer menggunakan istilah “Teori Kartini” untuk merujuk seluruh gagasan yang berasal dari pemikiran perempuan yang memiliki gelar Raden Ajeng tersebut. Dibandingkan dengan Munshi Abdullah bin Abdulkadir yang disebut sebagai Bapak Kesustraan Melayu, Pramoedya berargumen bahwa tulisan Abdullah baru sampai pada pemotretan dan kritik, sedangkan tulisan-tulisan Kartini telah mengandung analisis, pemahaman, dan pengertian.[1]

Tulisan-tulisan Pram tidak pernah kedaluwarsa. Pemikiran-pemikirannya abadi dalam berbagai karya yang telah ia hasilkan. Diterjemahkan dan terbit dalam 41 bahasa dunia, menjadi tanda bahwa karya-karya Pram tidak hanya untuk dirinya sendiri. Melampaui batas negara, ia dengan lantang menceritakan bagaimana kondisi Indonesia beserta kehidupan rakyatnya pada masa kolonial Belanda.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” (Pramoedya Ananta Toer)

[1] Lebih lanjut, baca “Memaafkan Negara”, Terbit di Jawa Pos, 16 Mei 2021 dan “Teori Kartini untuk Silicon Valley”, Terbit di Jawa Pos, 18 April 2021. Tulisan juga dimuat dalam Okky Madasari, Seni Menulis Opini, (Yogyakarta: Orbit Indonesia, 2021), h. 68–76.

--

--

No responses yet