“ fana adalah waktu. aku ingin mencintaimu dengan sederhana. tidak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni. kita abadi. mencintai-Mu. itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu. seperti tanda tanya.”
(Diolah dari berbagai potongan sajak karya Sapardi)
Kabar ini saya dapatkan dari sebuah grup yang dulu cukup aktif menulis puisi —yang namanya tidak bisa disebutkan— untuk sekarang. Saat itu saya baru saja sampai di rumah ayah. Pesan-pesan WA yang masuk selama perjalanan baru bisa saya baca, namun tidak segera saya balas semuanya. Akses jaringan internet di sana belum begitu memuaskan. Jika ingin bersosial media, saya harus berdiam cukup lama pada satu tempat agar jaringan bersahabat.
Setelah membaca sebuah pesan grup di atas, saya langsung menghentikan segala aktivitas. Rasa sakit akibat dismenore seketika bercampur dengan duka dan rasa kehilangan. Hati saya begitu sakit. Terlalu patah dan tidak siap mendengar kabar yang begitu tiba-tiba. Tuhan, leluconkah yang sedang kau mainkan?
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Telah meninggal dunia sastrawan besar Indonesia, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono di Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan pada hari ini 19 Juli 2020, pukul 09.17 WIB. Mohon doa. Al-Fatihah.”
Saya berhenti membaca. Mencerna dengan baik isi pesan tersebut. Benarkah? Saat itu saya tidak bisa memastikan sebab kendala jaringan internet. Biasanya, saya langsung berselancar ke Instagram jika ada kabar yang perlu dipastikan kebenarannya. Apalagi yang berkaitan dengan hal semacam ini. Ketika saya menulis kembali pesan duka di atas, mata saya berkaca-kaca. Saya kembali meneteskan air mata. Bahkan pada hari ketiga, beranda Instagram saya masih penuh ungkapan duka. Pagi itu selepas subuh, saya menangis tersedu saat melihat dan mendengar suara Mbak Ntsana yang berbagi kenangannya bersama Sapardi. Jatuh cinta tidak harus bersua, bukan?
Ketika berhasil mengunggah postingan belasungkawa setelah berjuang mendapatkan akses internet, seorang kawan menanyakan kebenaran berita yang saya sebar. Benarkah? Begitulah tulisnya. Jika ini lelucon, sungguh tidak lucu. Saya membalas demikian. Butuh waktu sepersekian detik untuk mengirim pesan balasan tersebut. Akhirnya, saya memintanya untuk menilik linimasa Instagram.
Satu lainnya mengirim pesan. Sudah dapat kabar? Sudah berapa banyak air mata yang tumpah? Mari berpelukan dan berbagi kesedihan. Saya meneruskan pesan ini kepada kawan yang lain. Ya, kami tumbuh bersama dan jatuh hati pada puisi-puisi Sapardi.
Saya mengabarkan kepada ayah perihal duka ini. Ayah tidak mengenal Sapardi, begitu juga sebaliknya. Sapardi juga tidak mengenal saya, barangkali ada satu atau dua puisi saya pernah jatuh ke tangan beliau, meskipun kecil sekali kemungkinannya. Ketika menulis “Surat Mei”, saya berjanji untuk bercerita tentang Sapardi kepada ayah. Kemarin saat pulang ke rumah ayah, saya malah tidak bisa banyak bicara. Kehilangan selalu saja mampu menciptakan ruang, kapan dan dimana saja. Ayah bertanya dan berdoa. Saya kembali melanjutkan kesedihan.
Sapardi adalah Penyair Hujan. Hati-hati jika membuat puisi tentang hujan. Hujan itu milik Sapardi. Begitulah Joko Pinurbo mengatakannya sambil tertawa renyah pada suatu kesempatan. Jokpin juga mengungkapkan bahwa puisi pertama yang ia baca adalah milik Sapardi. Sejak saat itu, ia ingin menjadi penyair seperti Sapardi. Saya bertemu Pakde —panggilan akrab Jokpin— pada acara Festival Sastra Gresik bulan Februari lalu. Jokpin adalah salah satu murid Sapardi. Maka tidak salah jika sikap beliau tidak jauh berbeda dengan Sapardi. Begitu rendah hati, lemah lembut dan sopan kepada siapapun, bahkan kepada kami yang baru saja dikenalnya. Hal serupa yang saya temukan dalam unggahan kawan-kawan di sosial media.
Eyang —panggilan akrab Sapardi— adalah sosok yang begitu ramah pada siapapun.
“Pak Sapardi adalah sosok orang yang sangat baik kepada siapapun, orang yang sangat sederhana dalam setiap hal; dari cara berpakaian, makan dan menjalani hidup sehari-hari. Beliau adalah orang yang sangat sabar, sepertinya Tuhan lupa membubuhkan rasa marah dalam diri Pak Sapardi. Karena selama 9 tahun mendampingi dan hidup bersama beliau, saya tidak pernah melihat beliau marah. Saya bahkan merasa takut kalau beliau bersiul, karena cukup dengan siulan beliau meluapkan kekesalan.”
Pernyataan tersebut ditulis oleh Bedor Sulaeman pada caption Instagram saat Sapardi masih dirawat di rumah sakit. Kata Usman Arrumy dalam salah satu unggahan, ia menyebut Bedor Sulaeman sebagai abdi dalem Sapardi.
Sapardi dan saya tidak pernah bertemu. Saya hanya pernah berinteraksi dengan murid-muridnya, sebut saja Aan Mansyur dan Joko Pinurbo. Mereka memang tidak pernah mengatakan bahwa Sapardi adalah guru mereka. Namun, saat membaca karya mereka, saya melihat Sapardi dalam jelmaan yang lain. Sapardi menulis prolog untuk “Melihat Api Bekerja” dan “Kasmaran”nya Usman Arrumy.
Saya mengenal Eyang saat dibangku kuliah. Mungkin terlalu terlambat, namun saya cukup menikmatinya. Salah satu kawan pernah bertemu beliau dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh salah satu kampus yang ada di Malang. Itu adalah awal cerita perkenalan saya dengan sosok dan karya Sapardi. Kawan saya bercerita tentang pengalaman pertemuannya, hingga saya membeli buku puisi beliau untuk pertama kali, “Hujan Bulan Juni” versi hardcover. Buku itu saya hadiahkan kepada kawan yang kadar cintanya kepada Sapardi sama besarnya dengan saya.
Saya pernah membaca buku karya Bakdi Soemanto yang berjudul “Sapardi Djoko Damono, Karya dan Dunianya” sewaktu kuliah. Saya kuliah jurusan hukum, namun lebih sering mampir ke rak buku sastra jika berkunjung ke perpustakaan. Barangkali takdir memang membawa saya untuk menyelami Sapardi.
Sapardi adalah pemain gitar andal yang sempat membentuk sebuah grup musik semasa kuliah di UGM. Ketika sudah menjadi dekan di UI, ia bahkan disebut suka membawa gitar setiap hari. Soal sapaan, ternyata beliau memiliki beberapa nama panggilan. Jamak disapa sebagai “Pak Sapardi”, ia juga dipanggil “Mas Djoko” oleh istrinya.
Ada juga seseorang di UGM yang memanggilnya “Dam”. Ia juga pernah ikut bermain drama yang disutradarai oleh Rendra. Puisi bagi Sapardi adalah juga arena eksperimen dengan kata yang tiada henti-hentinya. Ia bukan penyair yang besar kepala. Ia bahkan mengakui bahwa setiap kali menulis puisi, bahkan sampai sekarang pun, selalu merupakan langkah awal belajar menulis lagi. Ia aktif melakukan percobaan-percobaan. Puisi tidak tercipta secara serta merta, tidak siap saji.
Kiblat berpuisi saya adalah Sapardi. Salah satu dreamlist saya adalah bertemu Mas Djoko, pada suatu hari nanti. Namun Tuhan berencana lain. Ia telah pulang. Dan saya sedang berada pada sebuah jalan menuju rumah Sapardi.
Eyang, waktu memang belum mempertemukan kita di dunia yang fana ini. Namun izinkanlah saya melangitkan doa-doa. Saya yakin perjalananmu penuh kebahagiaan. Di sini, kami mengenangmu tiada henti. Sampai bertemu kembali. Terima kasih sebab telah membuat saya jatuh hati pada puisi, untuk pertama kali. Saya ingin membacakan dua puisi yang khusus saya tulis untuk Eyang, entah kapan. Puisi-puisi itu berada pada halaman awal buku puisi tunggal milik saya.
aku memang tidak benar
benar siap mendengar
kabar kehilangan meski
sering kali berulang
ulang lagijadi, bagaimana harus kusiasati?
Majapahit, 22-24 Juli 2020, 06.36 WIB