Sebuah Usaha Memecahkan Kepala: Pembacaan Ketiga Atas Kumpulan Puisi Adhimas Prasetyo

D. Atika Pramono
4 min readOct 20, 2021

--

seperti musik jaz yang asing
-jaz yang berbicara sendirian,
bagimu kota ini tak lebih
sekadar latar untuk setiap
percakapan yang melelahkan.

Seseorang pernah mengatakan ini kepada saya, kurang lebih begini ucapannya.

“Tidak pernah ada yang sama persis saat kamu membaca buku untuk kedua, ketiga atau seribu kalinya. Selalu ada hal-hal baru yang kau temukan, sekecil apapun bentuknya.”

Saya seorang pembaca, bukan kritikus ataupun ahli sastra. Hanya pembaca yang ingin menuliskan satu hingga lima sudut pandang saat selesai menamatkan “Sepersekian Jaz dan Kota yang Murung”. Judul dari kumpulan puisi Mas Adhimas Prasetyo yang saya dapatkan sebagai hadiah saat mengikuti lomba menulis yang diadakan oleh Mbak Ira dan Mas Gilang melalui Instagram.

Pembacaan ketiga? Usaha Memecahkan Kepala? Maksudnya?

Baiklah. Inilah sedikit penjelasan dari saya. Sudah ketiga kalinya saya membaca ulang kumpulan puisi tersebut. Saya rajin membawanya ke mana-mana dan sering membacanya saat sedang menunggu. Membaca sebuah buku, berulang lagi, di tempat yang berbeda dan dalam jeda kurun waktu yang bisa dibilang panjang.

Bagaimana dengan “Usaha Memecahkan Kepala”? Tunggu sebentar! Saya sedang menyiapkan kata-kata yang pas untuk mendeskripsikan ini. Membuka aplikasi KBBI terlebih dahulu untuk memastikan kata yang sudah saya tulis.

Mari bergegas!

“Sebuah Usaha Memecahkan Kepala” tiba-tiba terlintas saat saya selesai membaca puisi yang berjudul “Mari Kuceritakan tentang Max dan Makhluk-Makhluk Liar” pada bagian “Kota yang Murung”.

Bagian Pertama dalam buku ini diberi judul “Sepersekian Jaz” yang terdiri dari 14 puisi. Puisi yang juga dijadikan sebagai judul buku ini termasuk di dalamnya. Saya menangkap begitu banyak kesedihan yang hadir di dalam puisi-puisi ini, seperti derita perpisahan dan kekhawatiran.

Sebelum Jaz Berakhir

“….sebab jaz tak pernah mengajarkanmu cara menangis. jaz hanya sepotong kegelapan, teman lama yang setia menunggumu kembali ketika kau dilanda derita.”

Suatu Malam Vaughan Menyanyikan Ninabobo untuk Kita

“diam-diam aku berlatih melafalkan / selamat tinggal dan selamat jalan. / selagi aku memelukmu / dengan padat.”

Terompet Chet di Malam Hari

“mungkin sepertimu, Chet. / kisah cinta bukan juga / untukku.”

Koda untuk Chet Baker

“meskipun di kota ini, setiap hari adalah hari yang baik untuk bunuh diri.”

Gerimis untuk Bill Evans

“adakah kesepian berwarna / seperti memar pada rabuku? / kau terus bertanya lewat / denting piano yang menggigil.”

Seperti Sesuatu yang Biru

“apakah kesedihan memiliki warna?”

Sepersekian Jaz di Kota yang Murung

“setiap hari di kota ini, orang-orang menanam dan menahan peluru pada mata sendiri.”

Kesedihan yang meluap-luap, namun tetap dijaga ritmenya agar terlihat elegan dan enak didengar seperti alunan jaz.

Saya hanya menulis penggalan-penggalan dari beberapa puisi di bagian “Sepersekian Jaz”. Kawan-kawan bisa menikmati puisi penuhnya, tentu saja dengan cara membeli bukunya, atau ikut lomba seperti yang saya lakukan, dan barangkali hadiahnya sama. Hehe.

Bagian kedua dari kumpulan puisi ini diberi tajuk “Kota yang Murung”. Terdiri dari 20 puisi yang beberapa di antaranya diilhami setelah penyair membaca buku Orhan Pamuk dan Haruki Murakami, mendengarkan lagu dan mengamati lukisan.

Aroma puisi di bagian ini lebih banyak menyajikan tentang kenangan, rindu, dan ketidaksiapan diri menghadapi kepergian. Seperti usaha menguatkan diri sendiri dalam larik-larik puisi.

Melankoli Sebuah Kota

“dan sajak ini kutulis sebagai alamat / menuju tempat-tempat rindu bermuara.”

Departure

“kau mengira-ngira, / mungkin seseorang / akan menunggu dan menyambutmu / kelak.”

Di Stasiun Jatinegara

“lalu / tinggallah aku / meski tidak / dan tidak pernah / benar-benar / selamat.”

Saya jatuh hati pada puisi yang bercerita tentang Max. Pertama kali membaca buku puisi ini hingga pembacaan ketiga, Max tidak bisa hilang dari kepala saya. Penyair terilhami dari buku berjudul “Where the Wild Things Are” yang ditulis oleh Maurice Bernard Sendak.

“Where the Wild Things Are is a 1963 children’s picture book by American writer and illustrator Maurice Sendak. This story of only 338 words, focuses on a young boy, named: Max who after dressing in his wolf costume, wreaks such havoc through his household that he is sent to bed without his supper.”

Saya mendapatkan informasi di atas dari goodreads. Barangkali kawan-kawan ada yang tahu, di mana bisa membeli buku tersebut, bolehkah saya disapa! Terima kasih.

Pada puisi “Tahun-Tahun yang Murung”, “Semisal Lautan”, “Surau Suatu Subuh”, “Akan Turun Hujan”, “Tentang Sepotong Bibir”, “Berbenah” dan “Ingin Kau Letakkan Sebilah Puisi dalam Sajak Ini”, ada aroma lain yang mulai tercium, yaitu perihal pengharapan dan doa-doa.

“telah kuhafal sebuah permohonan. / Tuhan, aku ingin menjadi lelaki tanpa usia.”

Demikianlah hasil pembacaan ketiga yang saya lakukan. Terima kasih sudah membaca hingga akhir. Sampai bertemu di bacaan berikutnya.

Terima kasih kepada Mas Adhimas Prasetyo yang telah menulis puisi-puisi ini. Santapan sedap!

--

--

No responses yet